A. Pengertian Pemimpin
Kepemimpinan (leadership) adalah kegiatan
manusia dalam kehidupan. Secara etimologi, kepemimpinan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika mendapat awalan
“me” menjadi “memimpin” yang berarti menuntun,
menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang sama pengertiannya adalah
mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dalam arti mendidik dan mengajari
supaya dapat mengerjakan sendiri. Adapun pemimpin berarti orang yang memimpin
atau mengetuai atau mengepalai. Sedang kepemimpinan menunjukkan pada semua
perihal dalam memimpin, termasuk kegiatannya.
Dalam bahasa Arab seorang pemimpin disebut khalifah.
Kata khalifah ini berasal dari akar kata خ-ل-ف dalam kamus Al-Asri
berarti mengganti begitu juga termaktub dalam kamus al-Munawwir.
Khalifah adalah isim fa’il yang berarti pengganti.
Dalam al-Quran kata khalifah juga berarti pemimpin
(QS. Al-Baqarah: 30) dan dalam ayat lain dikatakan pewaris. Mungkin semua makna
ini bisa sesuai dengan kondisi ayat al-Quran tersebut dan maksudnya. Dengan
kata lain bahwa manusia diciptakan telah mempunyai kemampuan menjadi pemimpin,
pewaris, atau pengganti.
Ibnu khaldun dalam kitab Muqaddimah banyak
berbicara mengenai khalifah dan imamah (kepemimpinan). Ia menarik teori bahwa
manusia mempunyai kecendrungan alami untuk memimpin karena mereka diciptakan
sebagai khalifah.
Pada
hakikatnya setiap manusia adalah seorang pemimpin dan setiap orang akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Manusia sebagai pemimpin
minimal harus mampu memimpin dirinya sendiri. Dalam lingkungan organisasi harus
ada pemimpin yang secara ideal dipatuhi dan disegani oleh bawahannya.
Kepemimpinan dapat terjadi melalui dua bentuk, yaitu: kepemimpinan formal
(formal leadership) dan kepemimpinan informal (informal leadership).
Kepemimpinan
formal terjadi apabila dilingkungan organisasi jabatan otoritas formal dalam
organisasi tersebut diisi oleh orang-orang yang ditunjuk atau dipilih melalui
proses seleksi, sedang kepemimpinan informal terjadi, di mana kedudukan
pemimpin dalam suatu organisasi diisi oleh orang-orang yang muncul dan berpengaruh
terhadap orang lain karena kecakapan khusus atau berbagai sumber yang
dimilikinya dirasakan mampu memecahkan persoalan organisasi serta memenuhi
kebutuhan dari anggota organisasi yang bersangkutan.
B. Kriteria
Seorang Pemimpin
Jika kita menyimak terhadap perjalanan siroh
nabawiyah (sejarah nabi-nabi) dan berdasarkan petunjuk Al-Qur'an (Qs. 39:23)
dan Al-Hadits (Qs. 49:7), maka kita dapat menyimpulkan secara garis besar
beberapa kriteria dalam menentukan pemimpin.
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat
general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :
1) Faktor Keulamaan
Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara
hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan
bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan
selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu
(Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada
Allah.
Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah
dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk
Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang
berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii
shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan
sandaran ilmu.
Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang pemimpin
haruslah ahlu adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu orang yang dapat dijadikan rujukan
dalam menjawab berbagai macam problema ummat.
2) Faktor Intelektual
(Kecerdasan)
Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara
emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda :
"Orang
yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal
untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang
yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan
segala angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang
mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah
amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah
Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia
akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan
pengambilan keputusan.
Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan
mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan
kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 : 58).
Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada
yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."
3) Faktor Kepeloporan
Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat
kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan
perintah Islam.
Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada
posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil
khoiroti bi idznillah)
Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang
penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang
memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai
bicara, tetapi juga pandai bekerja.
Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang
tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah
milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu
berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai khoiru ummah (manusia subjek) maka
seorang pemimpin haruslah orang yang selalu menyeru kepada yang ma'ruf,
mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan senantiasa beriman kepada Allah.
4) Faktor Keteladanan
Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan
dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang pemimpin haruslah menjadikan
Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun tidak akan mencapai
titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya
Rasulullah.
Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq
yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan
perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun
seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi
apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa
kerusakan (fasada) dan kehancuran.
5) Faktor Manajerial
(Management)
Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu
manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan,
perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan
kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat
mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter
lainnya.
Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun
(keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau
pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut
bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan
merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun
akan merasakan kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab
Kriteria
seorang Pemimpinmenurut Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Beriman dan Beramal Shaleh
Ini sudah pasti tentunya.
Kita harus memilih pemimpin orang yang beriman, bertaqwa, selalu menjalankan
perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa
kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia maupun akherat.
Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk
amal soleh.
2) Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima
suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah
perintahkan.Karena suatu amalan itu bergantung pada niatnya, itu semua telah
ditulis dalam H.R bukhari-muslimDari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh ‘Umar bin
al-Khaththāb r.a, dia menjelaskan bahwa dia mendengar Rasulullah s.a.w
bersabda: “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan
sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa
yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin
digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya
sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut” Karena itu hendaklah menjadi
seorang pemimpin hanya karena mencari keridhoan ALLAH saja dan sesungguhnya
kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan
kemuliaan.
3) Laki-Laki
Dalam Al-qur'an surat
An nisaa' (4) :34 telah diterangkan bahwa laki laki adalah pemimpin dari kaum
wanita.
“Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri (maksudnya tidak
berlaku serong ataupun curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya)
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara “(mereka;
maksudnya, Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya
dengan baik).
Ayat ini menegaskan
tentang kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita. Menurut Imam Ibnu Katsir,
lelaki itu adalah pemimpin wanita, hakim atasnya, dan pendidiknya. Karena
lelaki itu lebih utama dan lebih baik, sehingga kenabian dikhususkan pada kaum
lelaki, dan demikian pula kepemimpinan tertinggi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.”(Hadits Riwayat Al-Bukhari dari Hadits Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya).
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.”(Hadits Riwayat Al-Bukhari dari Hadits Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya).
4) Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda
kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin
samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika
kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul
tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan
karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
5) Berpegang pada Hukum Allah.
Ini salah satu
kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
6) Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah
bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang
dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan
oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi
dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
7) Menasehati rakyat
Rasulullah
bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia
tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu
tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
8) Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang
memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi,
entah ingin mendekati atau mengambil hati.Oleh karena itu, hendaklah seorang
pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.Rasulullah bersabda,”
Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
9) Tegas
Ini merupakan sikap
seorang pemimpin yang selalu di idam-idamkan oleh rakyatnya. Tegas bukan
berarti otoriter, tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang
salah katakan salah serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan Allah,
SWT dan rasulnya.
10) Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya
Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka
persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia
berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
Selain poin- poin yang
ada di atas seorang pemimpin dapat dikatakan baik bila ia memiliki STAF. STAF
disini bukanlah staf dari pemimpin, melainkan sifat yang harus dimiliki oleh
pemimpin tersebut. STAF yang dimaksud di sini adalah Sidiq (jujur), Tablig (menyampaikan),
amanah (dapat dipercaya), fatonah (cerdas)
Sidiq itu berarti
jujur. Bila seorang pemimpin itu jujur maka tidak adalagi KPK karena tidak
adalagi korupsi yang terjadi dan jujur itu membawa ketenangan, kitapun
diperintahkan jujur walaupun itu menyakitkan.Tablig adalah menyampaikan,
menyampaikan disini dapat berupa informasi juga yang lain. Selain menyampaikan
seorang pemimpin juga tidak boleh menutup diri saat diperlukan rakyatnya karena
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin atau pemerintah yang menutup
pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinan kecuali Allah akan menutup
pintu-pintu langit terhadap kebutuhan, hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam
Ahmad dan At-Tirmidzi).Amanah berarti dapat dipercaya. Rasulullah bersabda,”
Jika seorang pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak
mereka.” (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim). Karena itu seorang
pemimpin harus ahli sehingga dapat dipercaya.Fatonah ialah cerdas. Seorang
pemimpin tidak hanya perlu jujur, dapat dipercaya, dan dapat menyampaikan
tetapi juga cerdas. Karena jika seorang pemimpin tidak cerdas maka ia tidak
dapat menyelesaikan masalah rakyatnya dan ia tidak dapat memajukan apa yang
dipimpinnya.
Setelah kita mengetahui sebagian ciri- ciri pemimpin menurut islam. Marilah kita memilih dan membuat diri kita mendekati bahkan jika bisa menjadi seperti ciri- ciri pemimpin diatas karena kita merupakan Mahasiswa dan sebagai penerus bangsa.
Setelah kita mengetahui sebagian ciri- ciri pemimpin menurut islam. Marilah kita memilih dan membuat diri kita mendekati bahkan jika bisa menjadi seperti ciri- ciri pemimpin diatas karena kita merupakan Mahasiswa dan sebagai penerus bangsa.
C. Akhlak Dan Sifat Yang Harus Dimiliki
Pemimpin
Seorang
pemimpin apapun tugas dan di mana pun kedudukannya, dipandang sebagai lambang
organisasi dan menjadi juru bicara mewakili lembaga atau organisasi yang
dipimpinnya. Dia perlu perilaku yang baik terhadap siapapun, agar lembaga atau
organisasi yang dipimpinnya tidak dijauhi orang.
Rasulullah
adalah qudwah hasanah kita, yang banyak mengajarkan tentang
kepemimpinan. Apapun amal kita harus merujuk kepada beliau. Pemimpin juga harus
begitu, meneladani akhlak, sifat dan perilaku beliau serta seluruh aktifitas
kepemimpinan beliau.
Berikut adalah sifat dan akhlak yang harus dimiliki
setiap pemimpin:
1. Seluruh kegiatannya dilakukan semata hanya mengharap
ridho Allah SWT.
2. Ingatannya kuat, bijak, cerdas, berpengalaman dan
berwawasan luas.
3. Perhatian dan penyantun.
4. Bersahabat dan sederhana.
5. Shidiq, benar dalam berkata, sikap dan perbuatan.
6. Tawadhu’.
7. Memaafkan, menahan amarah, sabar, dan berlaku ihsan.
8. Menepati janji dan sumpah setia.
9. Tekad bulat, tawakkal dan yakin serta menjahui sikap
pesimis.
D. Adab dan
Pergaulan Pimpinan dan Anggota
Maksudnya ialah aturan dan adab pergaulan pimpinan dan
anggota agar terbentunya keefektifan kinerja antara keduanya. Yaitu sebagai
berikut:
1. mengucapkan salam dan bertanya kabar kalau berjumpa.
2. saling menghormati dan menghargai.
3. saling mempercayai dan baik sangka.
4. nasehat-menasehati demi kemajuan organisasi atau lembaga.
5. bawahan boleh mengkritik pimpinan kritikan yang
membangun.
6. pimpinan harus berlapang dada dalam menerima kritikan
dari segenap anggota demi kemajuan bersama.
E. Amanah
dan Tanggung Jawab Pemimpin
Seorang
pemimpin dibebani amanah dan tanggung jawabyang harus ia laksanakan untuk
mencapai tujuan dari organisasi yang ia pimpin. Dalam islam setiap manusia yang terlahir di muka bumi
ini ialah seorang pemimpin yang memimpin umat ini kepada dien Allah. Semakin
banyak orang yang dipimpinnya semakin berat pula beban yang dipikulnya. Dalam
sebuah Hadist Rasulullah saw bersabda:
كلّكم
راع وكلّكم مسؤول عن رعيّته
Artinya: setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan
diminta pertanggungjawaban tentang bapa yang ia pimpin.
Kepemimpinan
tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya terlebih dengan ambisius
untuk mendapatkannya.
Kenapa? Karena dikhawatirkan dia tidak mampu mengemban amanah tersebut kemudian
mungkin mempunyai niat lain atau ingin mengambil keuntungan yang banyak ketika
ia telah mempunyai kekuasaan. Dalam hal ini Abu Dzar RA berkata, ”Aku
bertanya,” wahai Rasulullah saw, maukah engkau mengangkatku memegang satu
jabatan?” kemudian Rasulullah saw menepuk bahuku dengan tangannya sambil
bersabda:
”wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau ini lemah dan
sesungguhnya itu (jabatan) adalah amanah. Dan sesungguhnya ia pada hari kiamat
menjadi kesengsaraan dan penyesalan, kecuali yang mengambilnya dengan haqnya
dan menyempurnakan apa yang menjadi wajib keatasnya dan diatas jabatan itu.”
Seorang
pemimpin juga harus memahamkan kepada anggotanya bahwa amanah yang dipikul ini
akan dipertanggungjawabkan diakhirat kelak. Apakah ketika mengemban amanah pernah mendzolimi orang
atau tidak. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
”Apabila seorang hamba (manusia) yang diberikan kekuasaan
rakyat mati, sedangkan di hari matinya ia telah mengkhianati rakyatnya, maka
Allah swt mengharamkan surga kepadanya.” (muttafaqun ’laih)
Sebelum
memberi amanah pemimpin harus melihat kapasitas yang kan diberi amanah
tersebut. Karena amanah
haruslah diberikan kepada orang yang kompeten atasnya kalau tidak maka akan
menimbulkan ketidak sampainya tujuan bahkan mungkin menimbulkan kerusakan.
Dalam sebuah Hadist dikatakan ”Kalau seandainya perkara itu diserahkan kepada
yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya.